Amuk Massa
Mereview acara mata najwa tanggal 11 april 2018
Dengan pemilik acara mata najwa
najwa shibab
Peristiwa amuk massa di Cikupa,
Tangerang pada 11 November 2017, menjadi memori pedih yang sulit dihapus dari
ingatan M dan R.
R mengisahkan, sebelum peristiwa
Cikupa terjadi, hubungannya dengan M telah terjalin sekitar 1,5 tahun, “saat
ini ini kami sudah menikah, kami pacaran 1,5 tahun dan memang sudah
merencanakan pernikahan.” Tutur R.
Saat peristiwa amuk massa di
Cikupa, M mengaku baru tinggal di daerah tersebut selama 2 minggu. “Karena baru
2 minggu, belum kenal siapa-siapa dan belum sempat sosialisasi.
Sementara R mengaku, cukup
jarang singgah ke kontrakan M. Pada Sabtu malam (11/11/2017), R datang untuk
mengantarkan makanan ke kontrakan M, “Saya waktu itu membawa nasi dan telur
dadar, masak sendiri dari rumah. Dan pada saat itu ada orang datang mengetuk
pintu.”
Hingga peristiwa amuk massa
terjadi pada Sabtu malam, M dan R digerebek warga karena dituduh berbuat
asusila, bahkan M dan R dipaksa telanjang hingga video peristiwa ini viral di
media sosial.
Akibat kejadian ini, kondisi
psikologis M dan R terpukul dan harus menjalani konseling hingga saat ini.
“Saya belum kembali bekerja.” ungkap R, “masih ingin tenang di rumah, belum ada
aktivitas yang kami lakukan. Masih didampingi terus oleh pihak kepolisian.” M
korban amuk massa.
Polisi telah tetapkan 6 orang
tersangka, pelaku pengeroyokan atas pasangan M dan R di Cikupa, Tangerang, yang
saat ini telah diadili dan menanti vonis pada 12 April 2018. Ironisnya,
diantara 6 tersangka ini adalah ketua RT dan ketua RW setempat, yang diduga
sebagai aktor intelektual dibalik peristiwa amuk massa.
Kapolresta Tangerang AKBP HM
Sabilul Alif, menjelaskan kronologi kejadian berdasarkan hasil penyidikan,
bahwa ketua RT menggedor pintu kontrakan M, menuding M dan R telah melakukan
perbuatan asusila, dan melakukan aksi main hakim sendiri.
“Motif ketua RT itu karena mau
ada sanksi sosial, karena dia merasa seorang tokoh yang punya wewenang untuk
memberikan sanksi.” ungkap AKBP HM Sabilul Alif.
Mengalami perlakukan kasar dan
tudingan yang mempermalukan, keluarga korban M dan R menyerahkan ganjaran atas
para pelaku pada hukum yang berlaku.
“Saya serahkan ke polisi dan
pengadilan untuk hukum, saya mau yang setimpal saja, Kalau bisa cukup ini saja
kejadian persekusi ini di Indonesia, ke depan jangan ada lagi. Negara kita kan
negara hukum, semua ada aturannya.” ungkap N ayah korban R.
1 Agustus 2017 menjadi hari yang
tragis bagi Muhammad Al Zahra atau yang akrab disapa Zoya. Dituduh mencuri
amplifier atau pengeras suara di sebuah mushala, di kawasan Babelan, Bekasi,
Jawa Barat, Zoya tewas dihakimi massa.
Siti Zubaidah, istri Zoya
mengaku tak menyangka suaminya melakukan tindak pidana. Di mata Zubaidah, Zoya
dikenal sebagai sosok suami yang bertanggung jawab dan pekerja keras. Kematian
Zoya menjadi pukulan berat bagi keluarganya.
“Saat ini, sehari-hari saya
menjalani hidup dari para relawan yang sudah membantu saya dan keluarga.”
Zubaidah dan buah hati yang kini
kehilangan tulang punggung keluarga hanya bisa bertanya, kenapa massa tega
menghabisi nyawa suaminya?
Ditinggal sang suami yang tewas
dihakimi massa, meninggalkan kesedihan mendalam bagi Zubaidah. Ia kini harus
berjuang sendiri membesarkan seorang anaknya. “Saya sulit menjelaskan kepergian
suami kepada anak saya, biasanya suami saya sering salat bareng bersama anak
saya, itu yang sering ditanyakan anak saya.”
Namun Zubaidah tak mau larut
dalam kesedihan. Hidup terus berjalan, dan motivasi untuk membesarkan buah
hatinya menguatkan Zubaidah menghadapi cobaan. Zubaidah hanya berharap, aksi
main hakim sendiri di negeri ini tak lagi terulang.
“Saya berharap agar tidak ada
kasus main hakim sendiri lagi sampai menghilangkan nyawa seseorang. Cukup
keluarga saya saja.”
Harga sebuah rokok elektrik atau
vape harus dibayar dengan nyawa.
Abi Qowi Suparto, pemuda 22
tahun, tewas akibat pendarahan otak setelah dianiaya beramai-ramai, karena
dituduh mencuri vape.
Rosani Nina Sari, Ibunda Abi
terpukul mengetahui kenyataan anaknya tewas dianiaya. “Saat ini saya belum bisa
pulang ke rumah, aku masih belum kuat, aku masih mengingat aku punya anak satu
yang masih belum tuntas, yang harusnya masih harus aku urus.”
Keluarga tidak tahu menahu
tentang kasus pencurian yang dituduhkan pada anaknya, kabar pertama diterima
saat Abi telah dalam kondisi kritis.
“Pertama aku tidak tahu anakku
diduga mencuri vape, malam tanggal 28 ayahnya mendapat telepon memberitahukan
Abi dalam kondisi kritis.”
Mengetahui fakta bahwa Abi tewas
dianiaya, keluarga menuntut keadilan dengan menempuh jalur hukum.
“Sebenernya saya sudah
mengikhlaskan, tapi 2 hari setelah acara tahlilan, datang temennya Abi
menunjukan video penganiayaan Abi, keponakanku telepon ke abangnya, bilang ini
tidak bisa dibiarkan, harus dilaporkan ke polisi, nanti banyak peristiwa
seperti Abi lagi.” Kata Rosani, Ibu Abi, korban aksi main hakim sendiri.
Saat ini 5 pelaku penganiayaan
atas Abi telah diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sementara 1 orang
terduga pelaku lainnya masih buron.
Aksi main hakim sendiri menjadi
ironi di tengah status Indonesia sebagai negara hukum. Bahkan kasus main hakim
sendiri tak hanya sekali dua kali terjadi di negeri ini. Kerap para korban amuk
massa diadili ramai-ramai tanpa dikonfirmasi atau kesempatan membela diri.
Sepanjang tahun 2014-2015 tercatat ada 4.660 kasus main hakim sendiri, dengan
rata-rata 6 kematian per minggu.
Hukum harus ditegakkan, pelaku
atau aktor intelektual harus diadili jika ingin memutus mata rantai aksi main
hakim sendiri.
“Ini adalah tindakan
kriminalitas, ini bukan fenomena sosial, karena kalau disebut fenomena sosial,
ini akan menjadi alasan bagi banyak pihak untuk mengatakan bahwa saya bebas
dari perilaku ini, karena saya juga adalah korban dari ketidakadilan, dan
sebagainya.” Pengamat sosial, Devie Rahmawati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar