Minggu, 27 Mei 2018

Review Bangkit dari teror tanggal 23 mei 2018


Bangkit dari teror
Mata najwa tanggal 23 mei 2018
Sesi pertama: alasan ipda denny peluk terdakwa teroris aman abdurrahman.
            "Saya melihat Aman Abdurrahman itu orang baik. Saya mencoba memberanikan diri memeluknya. Mudah-mudahan dia mau," ungkap Ipda Pol. Denny Mahieu, salah seorang petugas polisi penyintas bom Thamrin 14 Januari 2016. Aman Abdurrahman yang yang disebut Denny adalah pentolan kelompok teror JAD yang belakangan dituding sebagai aktor di belakang peristiwa bom Thamrin yang juga diwarnai aksi baku tembak. Denny bercerita, kalau dia akhirnya memberanikan diri memeluk Aman dalam persidangan dan berbisik kepadanya. "Saya manusia juga," ujar Denny. Denny tak takut berhadapan dengan Aman yang diduga sebagai otak pelaku teror, karena meyakini hal sederhana. "Aman dulunya dilahirkan sebagai orang baik," serunya. Denny berupaya bangkit dari teror dan mencoba berdamai dengan para pelakunya. Perjuangan untuk bangkit dari teror juga dialami oleh Dwi Siti Rhomdoni, korban lain dari peristiwa bom Thamrin. Dwiki, panggilan akrab Dwi, mengaku sempat kesulitan kembali ke kehidupan normal. "Saya sering berhalusinasi berdialog dengan orang meninggal. Bertemu dengan seorang pelakunya," kata Dwi. Tulang belakangnya cedera dan mesti mendapat perawatan serius di rumah sakit. Sakit fisiknya tak sebanding dengan usahanya untuk bangkit dari trauma dua tahun lalu. Dia bolak-balik ke psikolog agar dunianya kembali sempurna sedia kala seperti kejahatan teror tak pernah terjadi. Kini keduanya mesti berdamai dengan memori panjang teror bom dan mencoba bangkit.
Sesi kedua : kesaksian istri bayu korban teror bom di surabaya
            Rabu, 23 Mei 2018 akhirnya jenazah Aloysius Bayu Rendra Wardhana bisa dimakamkan. Bayu adalah salah satu korban bom bunuh diri di Surabaya yang terjadi Minggu, 13 Mei 2018. Bayu lah yang menghalau pelaku bom bunuh diri di Gereja Santa Maria Tak Bercela.Proses identifikasi membutuhkan waktu hingga 10 hari. Menurut istri Bayu, Monique Dewi Andini, proses identifikasi yang panjang lantaran suaminya berada sangat dekat dengan bom bunuh diri. “Butuh identifikasi DNA,” katanya. Lebih lanjut, Monique menceritakan tentang sosok Bayu dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Monique, suaminya merupakan sosok yang tegas. Berani untuk mendebat dan menyampaikan tentang kebenaran. “Berdebat dianggap benar bisa tersampaikan kepada orang lain,” katanya. Monique mengaku sampai saat ini sudah bisa mengikhlaskan kepergian Bayu. “Tak ada rasa dendam dan marah. Kami sedih melihat hal ini,” katanya. Dia berharap ke depan tak ada lagi peristiwa seperti ini. “Cukup terakhir ini yang terakhir,” tutup Monique
Sesi ketiga : sesal mantan teroris
            Sejumlah mantan narapidana teroris mengaku menyesali perbuatannya. Melakukan pelatihan militer, dan melakukan aksi penyerangan. Sofyan Tsauri yang pernah terlibat dalam aksi pelatihan di Aceh mengaku menyesali pernah terlibat dalam aksi terorisme.“Tapi waktu itu, kita tujuan untuk mati sahid. Tak pernah berpikir adanya korban. Mereka akan mati juga,” katanya. Menurut Sofyan, hal tersebut merupakan perjuangan. “Tak ada perjuangan tanpa pengorbanan,” katanya.Beda lagi dengan Yudi Zulfachri, mantan pengikut Aman Abdurrahman, pimpinan Jamaah Anshorut Daulah yang berafiliasi dengan ISIS. Menurut Yudi yang lulusan STPDN, penyesalan itu berasal dari keluarganya. "Lantaran tindakan yang pernah saya lakukan, menjadi penghubung jaringan teroris di Jawa dan Aceh, keluarga menanggung efeknya.” Sementara Ibrahim Hasbi, mantan pemasok senjata teroris juga mengaku sulit untuk mendapatkan penerimaan dari masyarakat. Ketika kembali ke rumah ia sulit mendapat penerimaan. “Ada yang berbisik sebagai juragan senjata,” katanya
Sesi ke empat :umar patek meminta maaf kepada korban teror bom
            Narapidana terorisme Bom Bali I, Umar Patek tak henti-hentinya mengucapkan penyesalannya kepada korban dan keluarga korban. Dalam peristiwa ini sedikitnya 202 orang tewas. Hal ini ia sampaikan saat berbincang langsung di Mata Najwa dari Lapas di Porong, Sidoarjo.Tentang kasus Bom Bali I, ia beralasan, “Dari awal saya tidak mau. Tidak bersedia bom bali I. Tapi saya tetap diajak oleh teman saya Dulmatin. Tapi saat saya datang 95% pekerjaan sudah selesai.” Menurut narapidana terorisme yang sedang menjalani vonis 20 tahun ini, sekarang jaringan teroris menerapkan pemahaman Takfiri. Artinya, pemahaman ini mengkafirkan orang lain yang tidak sepaham dengan kelompoknya. “Mereka memurtadkan yang tidak sepaham yang tidak mau ikut dengan ajarannya,” katanya.Saat ditanya @NajwaShihab apakah Umar Patek pandai merekrut? “Saya tidak pandai untuk merekrut,” jawab Umar Patek.Hal yang membuat Umar Patek bertaubat adalah keluarga. Menurutnya, keluarga merupakan faktor yang mendukung  dirinya di saat dalam keputusasaan dan terkucilkan. “Keluarga yang mengubah jalan hidup saya,” katanya. Lebih lanjut Umar mengatakan, “Mereka semua merangkul kepada saya. Mereka tidak ada yang membenci. Mereka merangkul. Mereka tetap menganggap sebagai saudara.”  Dari balik penjara, Umar Patek juga mengaku banyak belajar untuk terbuka. Ketika saya dipindahkan ke Lapas Porong, saya merasakan berinteraksi dengan petugas. Mereka sudah seperti saudara. Begitu akrabnya. Mereka melayani dengan baik. Mereka melakukan pendekatan dengan hati,” kata Umar Patek.
Sesi ke lima : cara teroris rekut pengikut
            Lembaga-lembaga pemerintahan tak menjadi jaminan seseorang untuk direkrut jadi teroris. Hal ini terbukti dari pengalaman lulusan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), Yudi Zulfachri. Yudi Zulfachri pernah meninggalkan status PNS-nya dan bergabung dengan jaringan teroris. Ajaran terorisme pertama kali ia dapatkan justru dari sekolahnya. “Awalnya ingin ikut pengajian biasa. Awalnya di kampus itu belum ekstrem, agak-agak mirip dengan ISIS ini,” katanya. Lebih lanjut, saat di SPTDN pengajian-pengajian sangat terbuka. Bahkan pengajarnya berasal dari luar. “Pengajian itu orang dari luar. Ajarannya intoleran,” kata Yudi. Untuk menjadi sangat keras dalam pemahaman radikal, Yudi mengaku butuh waktu lama. Hal senada diungkapkan Sofyan Tsauri, mantan teroris Aceh. Untuk memiliki paham radikal dia butuh waktu hingga 5 tahun. Sofyan sebelumnya sudah 12 tahun menjadi polisi akhirnya berujung menjadi teroris, dan kini kembali menjauh dari terorisme. “Saya tinggal di asrama dari kecil. Saat itu mungkin terlalu baper terhadap penderitaan kaum muslimin,” katanya. Lebih lanjut ia mengatakan, saat itu ia mencari jawaban. Akhirnya masuk ke dalam sebuah pengajian. “Masuk pengajian, salah kamar. Saya masuk ke dalam. Jadi semua itu dari aktivitas bacaan dulu,” katanya.
Sesi ke enam : apakabar deradikalisasi ?
            Dalam sebuah catatan harian seorang teroris terdapat sebuah imajinasi. Ketika ia memiliki anak, maka akan ikut dalam pemikirannya untuk menjadi “singa” pemberani. Fenomena keterlibatan keluarga dalam aksi bom bunuh diri menjadi perhatian masyarakat luas. Hal ini menyusul tragedi bom sejumlah keluarga di Jawa Timur. Doktrin terorisme juga bisa masuk ke dalam penjara-penjara. Hal ini berdasarkan pengakuan seorang mantan terorisme yang tak mau disebutkan namanya. “Pertemuan di dalam penjara itu sangat intensif,” katanya. Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius, saat ini terdapat 289 narapidana teroris. Dia mencatat, sipir penjara pun bisa direkrut menjadi teroris. “Jadi ini yang kita lakukan dalam program deradikalisasi supaya tepat sasaran, ada 325 narapidana teroris yang ikut program ini, dan belum melakukan aksi terorisme,” kata Suhardi. Menurut mantan narapidana teroris, Yudi Zulfachri, orang di dalam penjara mudah terpapar paham teroris karena persoalan pribadi. Keberadaan narapidana teroris di dalam penjara menarik perhatian narapidana kasus kriminal lain. “Napi teroris di lapas itu sebagai pembeda. Itu ada daya tarik sendiri,” kata Yudi. Sementara itu, mantan narapidana teroris lainnya, Sofyan Tsauri menyatakan perekrutan teroris di dalam penjara itu dipengaruhi faktor membutuhkan perlindungan. Narapidana lainnya, biasa punya persoalan pribadi dan rapuh karena tak memiliki perlindungan secara mental. “Itu ada pembenaran-pembenaran. Ada narapidana pembunuh. Kemudian mendengarkan pembenaran, yang dibunuh orang kafir. Tidak apa-apa. Jadi makin kuat dengan justifikasi,” kata Sofyan. Kepala BNPT, Suhardi Alius menilai tahanan kasus kriminal mudah terpengaruh paham teroris di dalam penjara karena lemah iman. “Ilmu agamanya tidak dalam, sehingga mudah dipengaruhi,” katanya.
Sesi ke tujuh : lindungi anak teroris
            Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius, saat ini kesulitan yang dihadapi mantan narapidana teroris adalah penerimaan masyarakat. Masyarakat yang belum menerima keberadaan mantan narapidana teroris cenderung membuat psikologis mereka menjadi merasa terkucil, sehingga rentan untuk kembali menjadi teroris. Penghilangan rasa permusuhan dan kebencian juga menjadi PR besar bagi mantan teroris. Sebab, doktrin awal terorisme adalah menumbuhkan rasa kebencian dan permusuhan terhadap perbedaan-perbedaan. “Di sini kuncinya adalah keluarga,” kata Yudi Zulfachri, mantan narapidana teroris. Saat ini Yudi Zulfachri bersama koleganya sesama mantan narapidana teroris, Sofyan Tsauri berinisiasi untuk membentuk formasi untuk menangkal paham teroris. “Teroris itu tidak ujug-ujug melakukan teror. Kita harus menyentuh ideologi. Saya merasa ini perlu dievaluasi, para mantan yang tersadar,” katanya. Khusus mengenai anak-anak teroris, Suhardi Alius Kepala BNPT mengatakan," Jangan dimarjinalkan, mereka anak-anak tidak berdosa.""Mantan napi teroris dan keluarganya kita lakukan program deradikalisasi. Karena keluarga juga terdampak langsung," tambah Suhardi Alius.

Menutup Mata Najwa Bangkit Dari Teror, inilah Catatan Najwa: Sekali teror sudah dilakukan, pelaku bisa makin keranjingan. Melakukan teror dengan kepatuhan, tak banyak cingcong apalagi keraguan. Jelas tak mudah melakukan deradikalisasi, fanatisme teroris sudah buta sama sekali. Mereka tak peduli bahaya rantai kekerasan, siklus kebencian dan dendam yang tak berkesudahan.Yang penting hanya unjuk kekuatan, tak peduli dengan kemanusiaan.Namun terorisme tak boleh menang, mari sama-sama tabuh genderang.Aktif terlibat melumerkan polarisasi, membendung banjir prasangka yang kini terjadi.Kita adalah warga, kita bukanlah bara, kita tak mau terpanggang tinggal rangka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Review Bangkit dari teror tanggal 23 mei 2018

Bangkit dari teror Mata najwa tanggal 23 mei 2018 Sesi pertama: alasan ipda denny peluk terdakwa teroris aman abdurrahman.          ...