BARA MENJELANG 2019
Mereview acara mata najwa tanggal 02 mei 2018
Dengan pemilik acara mata najwa
Efek
polarisasi di pilper masih berjayan mesin politik terus memanaskan suasana apapun bisa menjadi
bahan pertengkaran desa desus dengan gampangnya menyebar. Rakyat terbelah
sedimikian rupa terseretan konflik perebutan kuasa hampir tidak ada jedah dalam
politik kita tiap momen disusupi propaganda jika para etlit terus menumbuhkan
seteru emangnya urusna indonesia hanya memilu inilah mata najwa “ BARA MENJELANG 2019”
Di
hadiri oleh :
1. Susi Ferawati yaitu korban intimidasi CFD
2. Ade Selon yaitu Panglima gerakan pemuda
Jakarta
3. Fahri Hamzah yaitu Wakil Ketua DPR
4. Mahfud MD yaitu Guru besar Hukum tata
negara UII
5. Yunarto wijaya yaitu Direktur Eksekutif
Charta Politika
6. Ahmad Riza Patria yaitu Politikus Gerinda
7. Maruarar Sirait yaitu Politikus PDI
Perjuangan
8. Prie GS yaitu Budayawan
Memasuki tahun politik, beragam taktik mulai
diterapkan untuk menjaring simpati publik dan menggalang dukungan bagi
masing-masing kandidat pemimpin yang diandalkan. Beragam opini dijejalkan ke
masyarakat bahkan tak jarang memicu gesekan antar lapisan. Bagaimana para politisi yang memang
memiliki kepentingan memandang gesekan yang terjadi di masyarakat akibat
perbedaan pendapat? Bagaimana seharusnya masyarakat bersikap atas riuhnya
perang opini antar politisi? Insiden
kaos berlogo #2019Gantipresiden VS #DiaSibukKerja di acara Car Free Day (CFD)
pada 29 April 2018 membetot perhatian publik. Peristiwa ini mengusik akal
sehat.
Korban-korban intimidasi CFD, Susi Ferawati menceritakan, awalnya dia
ketinggalan barisan dari pembagian kaos berlogo #DiaSibukKerja. Ia tak
menyangka kejadian tersebut begitu cepat. “Kita
ketinggalan barisan. Saat itu belum ada kerumunan. Ada pergerakan dari Sudirman
ke Bundaran HI. Dan foto-foto, ada ibu-ibu mulai datang. Dan mereka colek saya,
mereka bilang, ‘kaosnya dikasih,” kata Fera. Fera melanjutkan, makian makin keras karena orang-orang makin
berkumpul. “Dasar babu, kerja mlulu,”
katanya. Makian tersebut ditujukan kepada Fera yang menggunakan kaos berlogo
#DiaSibukKerja. “Saya digiring dari
kalangan mereka juga. Terus ke jalan Thamrin. Di situ saya dijemput suami teman
saya,” katanya.
Korban intimidasi CFD lainnya, Siti Tarumaselej
juga bercerita sempat diolok-olok kelompok yang beda kubu aspirasi politik.
“Saya juga diolok-olok. Dikepret-kepret uang di muka saya,” katanya. Sampai akhirnya ia bisa lolos dari situasi
tegang tersebut.
Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah angkat bicara soal
insiden CFD. Menurutnya, masyarakat demokrasi adalah yang aktif dan dinamis
dengan perbedaannya. Sehingga apa yang terjadi di CFD merupakan sesuatu yang
apa adanya. “Jangan sampai kalau ada masalah dia meledak,” katanya. Dia melanjutkan insiden CFD sudah keliru.
Sebab tak bisa membiarkan dua kelompok yang berbeda aspirasi politik dalam satu
lokasi. “Kalau salah pakai baju sepak bola saja bisa babak belur,” katanya.
Guru Besar UII, Mahfud MD, Mahfud MD menilai tindakan tersebut tidak
bermoral. Perlu ada penegakan hukum. Sementara,
Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya menilai ini merupakan
kesalahan dari Pemerintah DKI Jakarta. Sebab dalam aturannya, CFD harus bebas
dari aktivitas politik. “Tidak ada kehadiran negara, di sini yang bertanggung jawab
ya pemprov,” katanya. "Apalagi ada kehadiran anggota
DPRD DKI Jakarta di lokasi CFD saat itu," tegas Yunarto. Apakah kelompok berkaos #2019Gantipresiden
merupakan kubu dari Prabowo Subianto? Politikus
Gerindra, Riza Patria membantah. Dia mengklaim relawan Prabowo taat terhadap
aturan. “Relawan kami tertib, bersih, disiplin."
Belakangan ramai perang tagar bermuatan pesan
dukungan di Pilpres 2019. Perang tagar ini memanas tak hanya di jagad maya,
tapi juga tercermin dalam realita lewat distribusi atribut berupa kaos dengan
tagar masing-masing. Wakil Ketua DPR,
Fahri Hamzah mengatakan, saat ini keberadaan perang tagar di media sosial tak
bisa dihindari. Kalau pun ada pernyataan provokatif bisa saja dikeluarkan. “Itu
apa boleh buat harus melemparkan twit-twit itu. Kalau tersinggung gak apa-apa,
pasti kena,” katanya. Fahri
melanjutkan, pedoman bermedia sosial adalah aturan perundang-undangan. Jadi
semua telah diatur dalam hukum.
Guru Besar UII, Mahfud MD menilai tagar di media
sosial sangat cepat bersahutan. Dari satu pesan ke pesan yang lain. Termasuk
pesan-pesan provokatif. “Dipanas-panasi disahuti oleh yang lain,” katanya. Hal ini yang bisa membahayakan. "Jika
pesan tersebut sudah menuai persoalan apapun alasannya aparat penegak hukum
harus tegas,"kata Mahfud.
Bagi Direktur Eksekutif Charta Politica, Yunarto Wijaya keberisikan di dunia
media sosial masih wajar asal masih dalam satu framing. Misalnya, melakukan
kampanye negatif dengan membuka data keburukan dari lawan politik. “Tagar-tagar
cuci otak orang tapi harus bertanggung jawab,” katanya. Politikus Gerindra, Riza Patria mempersoalkan insiden dua orang
meninggal saat pembagian sembako di Monas. Menurutnya, hal ini harus dibuka. “Harus ada kejujuran dan keadilan,”
katanya. Apalagi ada tudingan kegiatan bagi sembako ini dilakukan kelompok pro
Jokowi. Menurut Politikus PDI Perjuangan,
Maruarar Sirait tidak ada kesengajaan untuk menutupi peristiwa tersebut.
“Memang nggak ada pemerintahan yang sempurna. Tidak setuju demokrasi dimenangkan
dengan cara yang tidak adil dengan menggunakan TNI, polisi. Kalau penguasa
salah ditutup. Oposisi salah diekspos, tindak saja, kan ada
aturannya,"ujarnya.
Jelang 2019, hoaks dan kampanye hitam
diperkirakan akan makin kuat. Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah menjawab enteng
persoalan tersebut. “Itu wilayah penegakan hukum,” katanya. Ia juga mengkritik Presiden Jokowi yang
menganggap politik jahat. Sebab, dalam medan kampanye khususnya media sosial,
presiden harus hadir dalam perdebatan politik. “Ini medium positif. Dia harus
kontributif dalam perdebatan politik,” katanya.
Politikus PDI Perjuangan, Maruar Sirait
mengatakan bagi mereka yang menghalalkan cara dalam politik dengan kampanye
hitam, harus diproses secara hukum. Tapi ia mengingatkan, tiap beda pilihan
politik seharusnya jangan menghalalkan segala cara untuk menang. “Pasti kita
punya calon beda, punya partai beda. Bagi saya politik itu usaha untuk
memperjuangkan apa yang kita yakini benar,” katanya.
Politikus Gerindra, Riza Patria mengaku Prabowo
Subianto juga kerap diserang dalam media sosial. Serangan tersebut mulai dari
mendompleng kampanye buruh pada 1 Mei lalu, kemudian insiden CFD yang
seolah-olah dilakukan oposisi. “Apa pun yang negatif itu (diasosiasikan-red)
oposisi,” katanya.
Budayawan Prie GS memberikan refleksi atas
insiden CFD. Berikut kutipannya:
SaudarakuDemokrasi
Bukan hanya berisi aku dan kamu
Ia juga berisi ia, kalian, kami dan mereka.
Kesemuanya itulah yang disebut kita.
Menjadi kita sungguh tak sederhana.
Karena indah dan tak indah,
baik dan buruk bahkan salah dan benar, tak lagi hanya tergantung dari sudut pandangku dan sudut pandangmu
Melainkan juga sudut pandangnya,
sudut pandang kalian, sudut pandang kami dan sudut pandang mereka.
Maka di dalam ruangku dan ruangmu juga ditempati oleh semua pihak yang akhirnya di sebut kita itu.
Itulah realitas yang dibaca dengan sangat baik oleh Empu Prapanca
yang melahirkan Bhineka Tunggal Ika.
Itulah yang disadari oleh Soekarno dalam yang melahirkan Pancasila.
Maka saudaraku,
Demokrasi tak mungkin berisi hanya aku dan kamu tanpa dia, kalian, kami dan mereka.
Maka jika aku sedang tak sependapat denganmu
Bukan berarti aku bukan bagian dari dirimu.
Begitu juga kalau kamu sedang tak sepaham dengan ku
bukan berarti kau bukan bagian dari diriku.
Jika pilihanmu bukan pilihanku
Tak cukup alasan bagiku untuk membenci pilihanmu
Karena ia pasti juga pilihan dia, pilihan kalian, pilihan kami dan pilihan mereka,
Yang akhirnya aku dan kamu
Mau tak mau, suka atau terpaksa
Harus menjadi kita.
Demokrasi tanpa kita
Sungguh harus dicegah karena ia mengancam keberlangsungan bersama.
Politikus PDI Perjuangan, Maruarar Sirait
mengingatkan jelang 2019 akan terjadi banyak perbedaan pilihan politik. Ia
mengakui perbedaan ini akan bisa sangat keras. “Keras tidaknya itu dipengaruhi
elit. Tapi jangan korbankan rakyat. Mereka harus dilindungi,” katanya. Sementara itu, Direktur Eksekutif Charta
Politika, Yunarto Wijaya mengatakan sah-sah saja elit politik berperang untuk
menang. Caranya masing-masing kubu saling membuka fakta tentang lawan
politiknya. “Lakukan itu untuk para elite, dengan sistem buka fakta itu nggak
perlu gelisah,” katanya. Namun,
Yunarto mengingatkan agar elit politik berhenti untuk melakukan stigmatisasi terhadap
isu-isu. Hal ini yang bisa menyesatkan masyarakat. Seirama dengan Yunarto, Guru
Besar UII Mahfud MD, elit politik harus berarung secara profesional. Mereka
bisa saling membuka data dan fakta tentang lawan politiknya, sehingga
masyarakat bisa menilainya sendiri.
Catatan najwa:Begitu batas kawan dan lawan makin kentara, prasangka dengan mudahnya merajalela. Perbedaan pun akhirnya menjadi bara, saling curiga menjadi hal yang biasa Segala sesuatu mudah memicu pertengkaran, hari demi hari disesaki oleh kegaduhan. Nyaris tak ada tempat bagi kebenaran, informasi dengan gampang diputarbalikkan Tiap ada yang keliru, lawan sigap memburu, menghajar tanpa pandang bulu Demokrasi ramai oleh tindak persekusi, percakapan disesaki oleh caci maki Entah apa yang dipikirkan juru taktik tiap kubu, demi kekuasaan seakan boleh menerabas tabu Lama-lama menjadi Indonesia bisa tak bermakna, selama parade kebencian terus saja mengemuka Jika polarisasi dipakai untuk menang Pemilu, mengapa tega menyulap rakyat menjadi serdadu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar